Jumat, 24 Februari 2012

Nikah dengan "Akhwat"


Sudah aku bilang berkali-kali, jangan pergi-pergi ketika
aku tidak ada di rumah," katanya dengan nada marah
membuat orang di sebelahnya ikut mendengar jelas,
"aku peringatkan lagi ya!"
Cukup lama orang yang tadinya satu pesawat denganku
itu menelepon istrinya. Kepergiannya ke luar pulau
ternyata "dimanfaatkan" oleh istrinya untuk pergi jalan-
jalan.
Bukan hanya lelaki itu yang
kepergiannya dibayang-bayangi kekhawatiran dan
ketidaktenangan. Ada sekian banyak -ratusan ribu
sampai jutaan- suami yang galau ketika meninggalkan
rumah karena istrinya. Entah karena ia tidak terlalu
percaya kepada istrinya atau istrinya yang tidak pantas
dipercaya, atau karena kedua-duanya sekaligus. Entah
karena ia meragukan kesetiaan istrinya atau istrinya
memang terbukti tidak setia, atau karena keduanya
sekaligus.
Ada banyak kasus yang bahkan lebih parah, terjadi di
masyarakat. Kita mungkin sering mendapati kasus-kasus
itu diberitakan di media massa. Beberapa bulan yang lalu
misalnya, seorang istri memasukkan laki-laki lain ke
rumahnya di tengah malam saat suaminya masuk kerja
shift tiga. Suaminya yang saat itu pulang mendadak
marah karena ada lelaki tanpa baju terbirit-birit keluar
dari rumahnya. Kejadian yang terjadi di sebuah daerah di
Jawa Timur itu menjadi terkenal karena para tetangga
mendemo memprotes wanita itu.
Bulan berikutnya juga ada kejadian mirip di daerah lain.
Bedanya, wanita yang berselingkuh ditinggal kerja
suaminya ke luar kota.
Betapa runyamnya hidup seperti itu. Ketika istri tidak
setia. Ketika istri tidak menenangkan. Kalaupun tidak
sampai pada level selingkuh separah dua kasus terakhir
di atas, istri yang tidak setia 100% akan cukup menguras
emosi suami. Ketidaktenangan saat berada di luar
rumah, terlebih saat bekerja, tentu sangat mengganggu
kesuksesan suami. Ibadah terpengaruhi tidak tenang,
shalat tidak khusyu', dan seterusnya.
Akhwat, adalah wanita istimewa. Insya Allah tidak
berlebihan jika saya menyebutkan demikian. Celupan
tarbiyah Islamiyah membentuknya menjadi pribadi
muslimah yang menjadikan iman sebagai orientasinya.
Jadilah kesetiaan kepada Allah dan rasul-Nya sebagai
prinsip hidupnya. Dengan demikian, kesetiaan kepada
suami, kesetiaan pada ikatan pernikahan adalah harga
mati yang terus dijaga sebagai wujud kesetiaan kepada
Allah dan rasul-Nya. Suami di rumah maupun pergi,
bersamanya maupun keluar kota, travelling atau bekerja,
istri tetap setia; menjaga kepercayaan suaminya,
menjaga kehormatan diri, rumah dan keluarganya.
Menikah dengan akhwat, dengan demikian merupakan
langkah membangun keluarga yang tenang; sakinah.
Suami tenang ketika di rumah, tenang pula ketika keluar
rumah. Suami 100% percaya kepada istri, istri 100%
menjaga kepercayaan itu. Suami tidak terganggu dengan
prasangka terhadap istri, sehingga emosinya stabil dan
terjaga. Ia pun bisa lebih khusyu' dalam beribadah, fokus
dalam bekerja, concern dalam meniti karir dan serius
dalam berdakwah.
"Maukah kutunjukkan kepadamu sebaik-baik milik
lelaki?," sabda Rasulullah suatu ketika kepada Umar bin
Khatab, "yaitu istri salihah yang jika dipandang suaminya
ia menyenangkan, jika diperintah ia mentaati, dan jika
ditinggal pergi ia menjaga diri."
Karakter wanita shalihah dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud di atas insya Allah ada
dalam diri akhwat. Karena itulah mengapa kita perlu -
bahkan harus- menikah dengan akhwat. Bagaimana
pendapat antum? “Mas... kok belum berkemas-kemas... mukhayam itu
nggak berat lho. Selain menyehatkan jasad, yang lebih
penting, ia bagian dari i'dad, persiapan dan latihan
berjihad. Mas kebanggaan kami, si kecil kelak akan
mencontoh Mas,” kata seorang akhwat sambil mengelus-
elus pundak suaminya.
“Adik bantu mengemasi ya...” belum keluar jawaban dari
bibir suaminya, akhwat itu telah mengeluarkan tas
ransel dari lemari.
Sang suami yang tadinya ogah-ogahan mulai berdiri.
Bangkit mengambil hp.
“Ustadz, saya besuk ikut berangkat mukhayam,” kata
ikhwan itu, kini tanpa ragu-ragu.
“Lho, kemarin katanya kesulitan cuti?,” terdengar
jawaban dari balik hp
“Kalau masalah kerja insya Allah bisa diatur, Ustadz.”
***
Begitulah inti dialog suami-istri yang sama-sama aktifis
dakwah. Saya yakin, dialog yang kurang lebih sama tidak
hanya terjadi di hari itu, di keluarga itu. Ada banyak
dialog yang berisi penguatan, motivasi, dan peneguhan
dari akhwat kepada suaminya. Mungkin dialog yang lain
bukan hanya menyemangati sang suami untuk
berangkat mukhayam. Dan mungkin saja dialog itu
pernah terjadi di keluarga kita. (Senyum dong kalau
Antum pernah mengalaminya :-)
Pada tulisan yang pertama, Mengapa Harus Menikah
dengan Akhwat (1), ada banyak tanggapan baik yang
setuju maupun kurang setuju. Termasuk komentar-
komentar di facebook yang jumlahnya lebih banyak lagi.
Sebagian tanggapan tidak setuju dengan penggunaan
istilah akhwat karena konotasinya yang sempit. Sebagian
menafsirkan bahwa akhwat adalah wanita shalihah, dan
istilah wanita shalihah lebih tepat digunakan. Sebagian
lagi berdalih bahwa tidak semua akhwat itu shalihah.
Wal iyadzu billah.
Lalu apa yang saya maksudkan dengan akhwat? Wanita
shalihah secara umumkah? Tidak, saya benar-benar
bermaksud menggunakan istilah akhwat dalam arti yang
sempit. Yakni muslimah yang tertarbiyah Islamiyah
sehingga ia tidak saja menjadi wanita shalihah tetapi
juga muslihah. Baik secara pribadi sekaligus terlibat
dalam dakwah untuk memperbaiki orang lain. Maka
akhwat yang saya maksudkan adalah mereka yang
tersibghah dengan tarbiyah Islamiyah hingga mencapai
muwashafat; tumbuh menjadi pribadi yang memiliki
kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) sekaligus
kepribadian dai (syakhsiyah Da'iyah).
Tentu saja yang saya maksudkan dengan “harus” itu
bukan wajib dalam terminologi Hukum Taklifi bahasan
Fiqih. Bukankah menikah dengan akhwat tertarbiyah itu
tidak termasuk syarat atau rukun Nikah? Dan yang saya
tuju untuk renungan ini adalah para ikhwan. Mengapa
harus menikah dengan akhwat? Seri tulisan ini mencoba
untuk saling berbagi dan -kalau boleh-
merekomendasikan kepada para ikhwan agar memilih
akhwat.
Alasannya? Yang pertama sudah kita bahas beberapa
waktu yang lalu; kesetiaan. Akhwat yang telah
tertarbiyah, ia setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagai
buah kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya ia juga
sangat setia kepada suaminya. Kesetiaan yang hakiki dan
terpancar kuat dalam sikap dan ucapan ini berdampak
besar bagi suami. Sang suami bisa lebih tenang, lebih
damai, lebih khusyu' dalam beribadah, fokus dalam
bekerja, concern dalam meniti karir atau
mengembangkan bisnis, dan serius dalam berdakwah.
Kedua, seperti dialog di atas, akhwat menjadi sahabat
dakwah. Ia mampu menjadi motivator di saat kita lemah.
Ia mampu menguatkan kembali komitmen dakwah kita
di saat kita malas. Ia mampu menjadi peneguh saat kita
mulai goyah.
“Untuk membangun keluarga muslim yang dilandasi
taqwa,” tulis Syaikh Musthafa Masyhur dalam Fiqhud
Dakwah, pertama kali seorang Muslim harus mencari
pasangan yang baik keislamannya dan yang memahami
tugas risalah hidupnya. Menjadikan pasangan hidupnya
sebagai sahabat dakwah yang baik, yang selalu dapat
mengingatkannya jika ia lupa, memberi motivasi
berdakwah dan tidak menghalanginya.”
Istri itu memiliki pengaruh besar dalam kehidupan
suami. Ada banyak contoh suami yang sebenarnya biasa-
biasa saja, tetapi setelah sekian tahun menikah ia
menjadi luar biasa karena motivasi istrinya. Bukan hanya
dalam dakwah, tetapi juga dalam ibadah. Ada suami
yang beberapa tahun silam tilawahnya terbata-bata,
tetapi kini ia yang biasa membetulkan tilawah teman-
temannya. Ia serius mengikuti tahsin karena dorongan
istrinya.
Ada pula orang yang jarang qiyamullail, tiba-tiba
menjadi rajin setelah menikah karena istrinya yang
dengan cara “penuh cinta” membangunkannya. Ia
mengingatkan kita pada sabda Rasulullah SAW:
Allah merahmati wanita yang bangun di tengah malam,
ia shalat dan membangunkan suaminya. Jika suaminya
enggan bangun, ia meneteskan air ke wajahnya. (HR. Abu
Daud, shahih)
Sebaliknya, tidak sedikit lelaki yang terjungkal karena
istrinya. Bahkan tidak terkecuali ikhwan, para aktifis
dakwah. Bayangkan jika istri pada cerita di atas
mengubah dialognya: “Iya Mas, lebih baik Mas di rumah
saja. Ngapain juga capek-capek di hutan, di gunung.
Kalau ada apa-apa bagaimana coba. Mana Mas gak
punya asuransi lagi. Kalau sampai lebih dari itu? Mas rela
saya jadi janda dan si kecil jadi yatim? Mas rela kalau
nanti ada orang lain yang nikahi saya?” Bisa dipastikan
ikhwan itu semakin “teguh pendirian” untuk tidak
berangkat. Dan... banyak alasan yang bisa dipakai.
Sebagaimana mampu memotivasi mad'u dan
mutarabbinya, akhwat juga memiliki kekuatan yang
sama -bahkan lebih besar- untuk memotivasi suaminya.
Karena itulah mengapa kita perlu -bahkan harus-
menikah dengan akhwat. Bagaimana pendapat antum?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar