Sabtu, 11 Februari 2012

Keprihatinan seorang Nabi


- Di suatu waktu,
terdengarlah “desah” nabi Zakariya – ‘alaihis-
salam -: “Ya Allah Rabb-ku, sesungguhnya
tulang belulangku sudah rapuh, kepalaku
sudah menyala putih karena uban dan istriku
mandul. Namun, ada satu hal yang membuat
diriku khawatir, takut, cemas dan bersedih,
yaitu, belum jelasnya seorang penggantiku,
pelanjutku dan pewarisku, dan aku tidak
pernah berputus asa untuk terus memohon
dan memohon kepada-Mu, berikanlah
kepadaku seorang pelanjut, seorang
pengganti dan seorang pewaris, yang
melanjutkan misi dan risalahku, misi keluarga
besar nabi Ya’qub - ‘alaihis-salam -, pewaris
yang akan membimbing, membina dan
mendidik Bani Israil, membimbing dan
membina mereka kepada ajaran-Mu”.
Bukan Soal Harta dan Kedudukan
Apa yang menjadi keprihatinan dan kepedihan
nabiyullah Zakariya - ‘alaihis-salam –
bukanlah soal masa depan makanan dan
logistik Bani Israil, sebab ia yakin betul bahwa
rezki, makanan, dan logistik Bani Israil sudah
dijamin dan ditanggung Allah SWT.
Bukan pula soal jabatan dan kedudukan
duniawi mereka, sebab mereka pasti akan
menentukan pilihan mereka sendiri
seandainya tidak ada ketentuan dari Allah
SWT, dan sepertinya peminat dalam hal ini
sangatlah banyak.
Bukan pula soal perjodohan laki dan
perempuan di antara sesama mereka, sebab
fitrah dan naluri mereka telah cukup untuk
menggerakkan mereka dalam hal ini.
Bukan pula soal perhiasan-perhiasan dunia
lainnya, sebab semua manusia telah tercipta
dengan membawa kecenderungan
terhadapnya.
Namun, yang menggelisahkan,
mengkhawatirkan dan memprihatinkannya
adalah soal statusnya sebagai juru dakwah,
sebagai murabbi, sebagai pembimbing dan
sebagai pembawa masyarakat kepada jalan
yang lurus, jalan para nabi dan rasul, jalan
para shiddiqin, syuhada dan shalihin, jalan
yang telah digariskan Allah SWT untuk dititi
dan dirambah umat manusia.
Dan pada kenyataannya, peran dan fungsi
seperti inilah yang sedikit sekali peminatnya,
berbeda dengan peminat harta, tahta dan
jabatan, sehingga, meskipun pintu
pendaftaran telah dibuka seluas-luasnya,
berbagai bentuk targhib (penggemaran dan
iming-iming bagi yang mau melakukan) serta
tarhib (pemaparan hal-hal yang menakutkan
bagi yang tidak mau melakukan) sudah
dikemukakan, reward and punishment sudah
dipaparkan, pada kenyataannya, yang
mendaftarkan diri secara sukarela tetap saja
sedikit, minim dan tidak sebanding dengan
para peminat dan pendaftar peran dan fungsi
lainnya.
Kenyataan seperti inilah yang membuat
prihatin nabiyullah Zakariya - ‘alaihis-salam -
Untuk itulah, beliau sampaikan keprihatinan
ini kepada Allah SWT, Dzat yang Maha
Mendengar, Dzat yang Maha Mengabulkan,
Dzat yang Maha Pengasih, Penyayang dan
yang Maha Kuasa, Pencipta dan Pengatur
seluruh alam.
Bukan Hanya Sekali Dua Kali
Penyampaian keprihatinan seperti ini bukan
hanya sekali dua kali disampaikan nabi
Zakariya - ‘alaihis-salam – kepada Allah SWT,
tetapi, berkali-kali, sering dan terus menerus.
Dan meskipun tanda-tanda terkabulkannya
tidak segera kunjung tampak, namun dia
terus menerus sampaikan keprihatinan itu,
tidak ada kata putus asa, tidak pernah pupus
dan sirna harapannya “walam akun bidu’aika
Rabbi syaqiyya”.
Bukan hanya tidak berputus asa, tetapi, selalu
memanfaatkan waktu, tempat dan moment-
moment istijabah untuk mengulangi dan
mengulangi lagi penyampaian keprihatinan
dan permohonannya. Oleh karena itu, pada
suatu hari, saat ia memasuki mihrab Maryam,
dan dia dapati di sisi Maryam ada makanan
dan minuman, dan setelah dia mendapatkan
kepastian bahwa makanan dan minuman itu
datang dari Allah SWT, yang berarti,
kemungkinan besar, saat itu dan di tempat itu
baru saja turun rahmat Allah SWT, dan sangat
mungkin rahmat itu belum beranjak dari situ,
maka seketika itulah sekali lagi ia panjatkan
keprihatinan dan permohonannya kepada
Allah SWT, agar Dia memberikan keturunan
kepadanya, keturunan yang shalih, keturunan
yang baik, yang akan mewarisi dan menjadi
pelanjut dari misi dan tugasnya. “Hunalika
da’a Zakariyya Rabbahu …”
Ia tidak peduli lagi dengan keadaan dirinya
yang tua renta, tidak peduli lagi dengan
kondisi istrinya yang mandul, yang secara
teori tidak mungkin lagi memiliki keturunan,
sebab ia yakin, rahmat dan kekuasaan Allah
SWT jauh di atas semua teori tadi.
Berqudwah Kepada Nabi Zakariya
Al-Qur’an menceritakan kisah nabi Zakariya -
‘alaihis-salam – bukan sekedar menjadi
hiburan, namun, untuk dijadikan ibrah, dan
diikuti nilai-nilai ke-qudwah-annya.
Pos-pos jabatan struktural, alhamdulillah
telah terisi secara cukup dan bahkan
memadai.
Pos-pos jabatan publik, alhamdulillah banyak
sekali yang berminat.
Namun, berapa banyak yang bermimpi dan
berminat menjadi juru dakwah? Berapa besar
pula minat dan animo masyarakat untuk
menjadi murabbi? Siapakah dan berapakah
yang menyambut seruan banyak ikhwah di
daerah, di kampus, sekolah dan lainnya:
“mana juru dakwah? Mana murabbi? Silakan
datang ke sini!”
Tidakkah situasi ini mendorong kita untuk
prihatin? Bersedih? Dan lalu mengadukannya
kepada Allah SWT?
Tidakkah kenyataan ini mendorong kita untuk
bekerja bersungguh-sungguh dalam
menyiapkan dan memperbanyak jumlah juru
dakwah dan murabbi? Sambil terus menerus
dan tidak henti-hentinya berdoa dan
memohon kepada Allah SWT agar
memberikan ketegaran dan keteguhan
(tsabat) kepada kita dalam meniti jalan
dakwah serta memudahkan segala urusan
dakwah dan tarbiyah ini?
“Wa inni khiftul mawaliya min wara-i… fahab
li min ladunka waliyyan yaritsuni…”
Barakallahu li walakum fil Qur’anil azhim
wanafa’ani waiyyakum bima fihi minal ayati
wadz-dzikril hakim, amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar